Dampak, Penyebab, dan Kausalitas Kekerasan Pada Anak - Asa Digital

Sabtu, 02 Desember 2017

Dampak, Penyebab, dan Kausalitas Kekerasan Pada Anak


Anak adalah mereka yang belum dewasa dan masih dalam tahap perkembangan. Adapun definisi sebagai anak termuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Anak sebagai korban kekerasan merupakan fenomena sosial yang memerlukan perhatian dari semua pihak. Hampir setiap hari pemberitaan mengenai anak-anak pada kekerasan fisik dan psikologis dapat dilihat pada media massa. Banyaknya kasus yang terjadi tentu menimbulkan pertanyaan mendasar tentang bagaimana melindungi anak-anak dari berbagai kejahatan. Karena itu kampanye publisitas diperlukan untuk membangun kesadaran masyarakat.
Pada prinsipnya, tindakan kekerasan pada anak tidak dapat diterima. Karena secara konstitusional, Pasal 28 UUD 1945 telah menetapkan bahwa anak adalah subyek dan warga negara yang berhak atas perlindungan dari serangan orang lain, termasuk menjamin peraturan perundang-undangan di bawahnya yang pro terhadap anak. Selanjutnya dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, ditentukan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup (rights to life and survival), tumbuh, dan berkembang (rights to development), serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi.
Menurut hukum, tumbuh kembang anak mencakup bukan saja aspek fisik, namun juga psikis, mental, moral, spiritual, sosial, dan alam pikiran anak. Hak anak untuk hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang (right to life, survival and development), secara eksplisit juga tertuang dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dampak Kekerasan Terhadap Anak
Dampak kekerasan pada anak adalah stigma buruk yang melekat pada korban diantaranya, Pertama, Stigma Internal yaitu, kecenderungan korban menyalahkan diri, menutup diri, menghukum diri, menganggap dirinya aib, hilangnya kepercayaan diri, dan terutama adalah trauma sehingga seperti halnya perempauan tidak mau lagi berkeluaraga setelah dirinya trauma menerima kekerasan dari suaminya. Kedua, Stigma Eksternal yaitu kecenderungan masyarakat dalam menyalahkan korban, media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami korban secara terbuka, dan tidak menghiraukan hak privasi korban.

Faktor Penyebab Kekerasan Pada Anak
Faktor penyebab terjadinya kekerasan pada anak disebabkan oleh stress dalam keluarga. Stress dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua (suami atau Istri), atau situasi tertentu.
Stress berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Stress yang berasal dari suami atau istri misalnya dengan gangguan jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfect dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin. Sedangkan stress berasal dari situasi tertentu misalnya suami atau istri terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering konflik.
Penyebab utama lainnya adalah kemiskinan, masalah hubungan sosial baik dalam keluarga atau komunitas, penyimpangan perilaku sosial (masalah psikososial). Lemahnya kontrol sosial primer masyarakat dan hukum dan pengaruh nilai sosial kebudayaan di lingkungan sosial tertentu.

Kausalitas
Seperti kita ketahui masih banyak diberitakan mengenai kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak dapat terjadi di mana saja. Di sekolah, rumah, atau lingkungan tempat bermain. Dari dipukul, dibentak, dimintai uang secara paksa, dijegal sepulang sekolah hingga dilecehkan secara seksual. Kenyataan ini tentunya sangat memprihatinkan dan semakin membuktikan bila kekerasan terhadap anak sampai saat ini masih belum bisa diselesaikan. Walaupun di Indonesia sudah ada aturan hukum dan perundang-undangan yang mengatur.
Di Indonesia, kekerasan terhadap anak sudah membudaya dan dilakukan turun-temurun. Akibatnya, dari tahun ke tahun kasus kekerasan terhadap anak terus bertambah. Terdapat berbagai macam faktor yang memicu kekerasan terhadap anak antara lain dikarenakan oleh kemiskinan atau kesulitan ekonomi yang dihadapi para orang tua. Namun, faktor tersebut bukan satu-satunya faktor pemicu kekerasan terhadap anak.
Kekerasan terhadap anak terkait erat dengan faktor kultural dan struktural dalam masyarakat. Dari faktor kultural, misalnya, adanya pandangan bahwa anak harus patuh kepada orang tua seolah-olah menjadi alat pembenaran atas tindak kekerasan terhadap anak. Bila si anak dianggap lalai, tidak patuh, dan menentang kehendak orang tua, maka dia akan memperoleh sanksi atau hukuman, yang kemudian dapat berubah menjadi suatu kekerasan.
Faktor struktural diakibatkan adanya hubungan yang tidak seimbang baik di dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Di sini, anak berada dalam posisi lebih lemah, lebih rendah karena secara fisik, mereka memang lebih lemah daripada orang dewasa dan masih bergantung pada orang-orang dewasa di sekitarnya. Karena itu, menjadi tanggung jawab kita bersama, khususnya para orang tua, untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Anggapan bahwa anak adalah milik orang tua sehingga orang tua berhak melakukan apa pun terhadap anak jelas tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Untuk itu, diperlukan peran serta pemerintah dan kepedulian masyarakat. Sebab pada dasarnya, anak adalah titipan Tuhan kepada para orang tua untuk dicintai, dijaga, dan dibesarkan.
Diharapkan pemerintah menjadikan masalah kemiskinan dan penyediaan lapangan pekerjaan sebagai prioritas utama guna menekan angka kekerasan terhadap anak. Lebih penting lagi, kesadaran masyarakat untuk ikut membantu mengawasi dan melindungi anak-anak juga perlu ditingkatkan. Kalau ada tetangga yang memukul anaknya, kita harus berani menegur dan mencegahnya. Sebab, anak-anak dilindungi undang-undang.
Secara yuridis formal, pemerintah telah memiliki Undang-Undang (UU) No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 35/2014 jo UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak, dan Keputusan Presiden No. 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. Namun, realitanya kesejahteraan anak di Indonesia sampai saat ini masih jauh sekali dari harapan.
Karena itu untuk menanggulangi persoalan kekerasan terhadap anak tersebut, perlu adanya penegakan hukum yang maksimal. Sebab, bukan tidak mungkin fakta-fakta tentang kesengsaraan dan kesusahan hidup anak akan menjadi persoalan yang sangat pelik di masa mendatang. Adapun langkah nyata yang harus dilakukan adalah mengampanyekan penghapusan kekerasan terhadap anak, seperti pemasangan stiker, pelatihan kepada ibu-ibu, dan permintaan dukungan dari pemerintah di setiap daerah agar hak-hak anak perlu dilindungi.
Selain itu, perlu digalakkan dukungan masyarakat tentang Program "Three Ends dan implementasi terhadap slogan "Stop Kekerasan Pada Anak", sehinggan dapat membantu mengurangi kasus kekerasan pada anak dan membangun kesadaran dalam masyarakat. Tanpa kesadaran tidak mungkin kita dapat mengatasi permasalahan ini.

Penulis merupakan Aktivis Gerakan Anti Human Trafficking (Gahtra) dan juga anggota Research and Debate Hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar