Membudayakan Literasi Keluarga untuk Memerangi Perundungan Anak - Asa Digital

Senin, 30 September 2019

Membudayakan Literasi Keluarga untuk Memerangi Perundungan Anak


Kita hidup di dunia di mana kita harus sembunyi-sembunyi untuk bercinta, sedangkan kekerasan dipertontonkan di tengah terik hari. 
  - Jhon Lenon (1940-1980).

****

Akhir Juli 2019, publik dihebohkan dengan aksi perundungan yang dilakukan senior terhadap 13 siswi SMKN 7 Tanggerang Selatan. Tamparan dan paksaan berduel adalah bentuk perundungan yang diterima. Cercaan dan intimidasi turut mewarnai aksi tersebut.

Peristiwa ini menjadi tamparan keras, mengingat kejadian dilakukan dalam institusi pendidikan. Pelakunya pun peserta didik yang semestinya memiliki budi pekerti dan akhlak mulia. Sebuah ironi pula, lantaran mereka adalah tunas bangsa yang memikul harapan besar di pundaknya untuk mewujudkan kemajuan Indonesia di masa mendatang.

Jika ditelisik lebih jauh, kasus-kasus seperti ini masih marak terjadi. Hal ini dibuktikan dari laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Secara kuantitas, sepanjang 2011-2017 terdapat 28.377 laporan kekerasan terhadap anak. 


Untuk tahun 2019 saja, data Januari-Mei menunjukkan telah ada 1.192 kasus kekerasan anak yang dilaporkan kepada KPAI. Parahnya, rilis United Nation International Children’s Emergency Fund (UNICEF) tahun 2016 menempatkan Indonesia pada posisi tertinggi di ASEAN untuk kasus perundungan.

Tentu menilik rentetan data di atas, hal ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Jika terus dibiarkan dapat menyebabkan masa depan anak bangsa baik pelaku maupun korban akan terganggu.



Mengulik data perundungan anak di Indonesia, kurang lengkap jika tidak dibarengi pengetahuan tentang perundungan itu sendiri. Meskipun tanpa disadari setiap orang sering menyebutnya.

Istilah yang familiar di lingkungan masyarakat luas adalah bullying. Menurut KBBI, istilah ini dapat diartikan sebagai proses, cara, atau perbuatan seseorang yang menggunakan kekuatan untuk menyakiti atau mengintimidasi orang lain yang lebih lemah darinya. Biasanya dilakukan dengan paksaan untuk melakukan apa yang diinginkan pelaku.

Mengenai bentuk-bentuknya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu verbal, fisik, dan sosial yang kemudian bertambah menjadi 5 (lima) bentuk. Hal sejalan dengan perkembangan jenis-jenis kekerasan dan perkembangan teknologi informasi. Untuk lebih jelasnya, silahkan simak infografis berikut!


Dampak yang ditimbulkan juga sangat membahayakan. Tidak hanya berpengaruh pada psikis semata. Dalam beberapa kasus gangguan fisik juga menjadi akibat dari perilaku perundungan.

Bahayanya, efek samping perundungan anak dapat menyebabkan si korban menjadi pelaku pada masa mendatang. Ada pula yang menjadi trauma berkepanjangan hingga mengakhiri nyawa karena tidak mampu bertahan.


Namun demikian, dampak akibat perundungan juga tak hanya terjadi pada korban tetapi juga pelaku. Banyak pelaku dalam kategori anak yang mendapat tekanan secara psikis, sosial, dan verbal. Terlebih di era kebebasan bersuara hari ini. Lihat saja, dalam banyak kasus cacian dan hujatan, serta penghakiman massa lewat media tampak nyata.


Jika ditanya apa faktor penyebabnya? Secara internal, banyaknya kasus kekerasan disebabkan rendahnya tingkat literasi. Pada dasarnya, literasi tidak dapat dimaknai secara sempit hanya kegiatan membaca. Lebih luas, literasi adalah kemampuan mengolah, memahami, menganalisis, dan menyeleksi setiap informasi yang ada. 

Dalam konteks perundungan, rendahnya literasi berdampak pada kemampuan anak untuk memahami dan mengerti tentang bentuk-bentuk, penyebab, dan dampak dari kekerasan atau perundungan. Termasuk cara-cara pencegahannya. 

Ketidakmampuan dalam menyeleksi informasi juga mendorong si anak untuk mudah menerima berita provokatif yang memicu terjadinya kekerasan. Tontonan negatif dari gawai atau televisi yang tidak mampu diseleksi sedemikian rupa juga cenderung menjadi penyebab rentannya sang anak menjadi pelaku perundungan.

Di sini lah peran serta keluarga untuk meningkatkan dan membudayakan literasi anak sangat diperlukan. Mengapa? Alasan utamanya karena di lingkungan inilah proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai budaya literasi dimulai untuk pertama kalinya. 

Jauh sebelum anak mengenal lingkungan masyarakat dan pendidikan formal, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarga. Alhasil, keluarga menjadi tempat paling efektif dalam proses adaptasi, pemberian pengetahuan dasar, pembentukan karakter dan kepribadian anak. Dapat dikatakan, keluarga adalah institusi pendidikan non formal terbaik bagi anak.

Pandangan ini dikuatkan oleh studi yang dilakukan Boston Consulting Group tahun 2011. Penelitiannya menyebutkan salah satu karakter generasi pasca Baby Boomers adalah menjadikan keluarga sebagai tempat pertimbangan dan pengambilan keputusan.

Lalu apa yang dapat dilakukan oleh keluarga, khususnya orang tua agar dapat meningkatkan budaya literasi? Dalam kaitannya pengentasan dan pencegahan kasus perundungan anak, terdapat beberapa strategi sederhana yang dapat dilakukan.

Pertama, meningkatkan minat baca anak, lantaran membaca menjadi aspek penting dalam mengenali berbagai hal mengenai perundungan anak. Tindakan yang dapat dilakukan dengan mengatur waktu harian untuk rutin membaca.

Jika anak cenderung malas membaca, dapat dibiasakan dengan berbagai buku ringan yang edukatif. Buku dalam bentuk cerita bergambar juga menjadi alternatif terbaik untuk meningkatkan minat baca. Terlebih hari ini telah banyak disediakan buku seperti itu, termasuk untuk mengenali perundungan anak.

Kedua, dorong untuk menonjolkan kemampuan dengan motivasi hadiah. Hal ini juga dirasa perlu. Dengan aktifnya anak terhadap hobi atau kemampuan yang dimiliki akan mengurangi kemungkinan anak berbuat tindakan yang merugikan. 

Kemampuan menulis juga menjadi poin yang kiranya perlu didukung. Dalam perkembangan teknologi, berbagai kemampuan untuk membuat konten-konten menarik, baik tulisan, video, maupun grafis pastinya sangat menguntungkan.

Ketiga, ajarkan lewat dongeng atau nyanyian. Kreativitas orang tua dalam menyalurkan pengetahuan terkait hak-hak dan kewajiban anak dapat dilakukan melalui media lagu atau dongeng. Hal ini dapat dilakukan dalam waktu senggang ataupun sesaat sebelum tidur.

Keempat, jadikan perpustakaan untuk mengisi akhir pekan. Dalam perkembangan hari ini, perpustakaan telah memberikan pelayanan maksimal yang dapat mendorong budaya literasi keluarga, terkhusus untuk anak. 

Selain, menjadikan perpustakaan sebagai pelepas dahaga akhir pekan untuk relaksasi dari berbagai kesibukan. Perpustakaan juga mempunyai 4 (empat) peran strategis untuk anak dan keluarga. Pertama, menjadi tempat refleksi diri. Kedua, mengajarkan berpikir sistematis dan meningkatkan rasa tanggung jawab. Ketiga, menggali potensi anak dan tempat untuk mengawali terwujudnya cita-cita. Terakhir, membangun interaksi, relasi, dan komunikasi dengan teman sebaya maupun yang lebih tua dan lebih muda.

Kelima, tingkatkan pengawasan. Peranan ini sangat penting khususnya dalam menjaga budaya literasi yang dilakukan anak tidak salah arah. Pengawasan ini meliputi segala bidang yang tentunya menjadi perhatian keluarga. Misalnya seletif untuk tontonan anak atau penggunaan gawai. 

Oleh karenanya, dewasa ini, setiap orang tua dituntut meningkatkan literasi digital. Sebab banyak aplikasi yang memudahkan orang tua untuk melaukan pemantauan terhadap anak.

Keenam, membuka ruang diskusi. Dalam mengentaskan persoalan perundungan, orang tua juga wajib memberi kesempatan anak untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi. Tertutupnya ruang dialog ini akan menyebabkan anak cenderung memendam segala permasalahan. Pada banyak kasus, tertutupnya ruang dialog juga menjadi pemicu meningkatnya kekesaran anak.

Terakhir, jadilah teladan. Untuk meningkatkan budaya literasi di lingkungan keluarga tentunya setiap anggota keluarga harus memberikan contoh kepada anak-anak di lingkungan itu. Sebab, keluarga khususnya ayah seringkali menjadi keteladanan bagi seorang anak. 

Maka perlu di sini, setiap orang tua mendahulukan diri terbiasa untuk membaca, menulis, ataupun kegiatan literasi lainnya yang mampu membangkitkan semangat anak untuk mengikuti hal yang sama.


Kasus anak merupakan ancaman laten. Ia ibarat sebuah gunung es yang selalu menyimpan potensi besar di bawah permukaan. Maka keterlibatan aktif keluarga untuk menanggulanginya tidak bisa ditunda-tunda. Salah satunya melalui literasi keluarga.

Dalam keterbatasan yang wajar selalu tersisipkan harapan bahwa "memerangi perundungan anak melalui pembudayaan literasi keluarga" akan mendapatkan hasil yang maksimal. Terlebih jika selalu dibenturkan tingkat pendidikan orang tua, kehendak untuk melampaui batas yang ditentukan selalu mengebu-gebu. 

Ikhtiarnya barang kali dengan menambah fasilitas penunjang seperti buku-buku yang dapat meningkatkan pengetahuan dasar anak. Kemudahan teknologi juga harus dimanfaatkan seperti menyediakan e-catalog atau e-library. Dengan begitu rendahnya tingkat pendidikan tadi dapat teratasi.

Jika literasi di rumah terus digaungkan secara efektif, bukan tidak mungkin judul yang penulis angkat menjadi suatu keniscayaan. Alhasil, percepatan penyelesaian kekerasan anak pun segera terwujudkan. 

Tentunya semua ini perlu didukung seluruh stackeholder yang berkepentingan. Termasuk penguatan dari sisi regulasi dan dukungan dalam membumikan literasi keluarga terus ditingkatkan.

Sejatinya menjaga anak bangsa lewat literasi keluarga hari ini, sama artinya dengan menjaga asa digdayanya Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, jadilah #SahabatKeluarga dengan membudayakan #LiterasiKeluarga untuk unggulnya anak Indonesia dan hapusnya perundungan anak.


****


Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Pendidikan Keluarga bertemakan "Peran Keluarga dan Masyarakat dalam Membudayakan Literasi" yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.




  1. Antaranews.com. 25 April 2019. "Infografis: Lawan Perundungan." Diakses dari https://www.antaranews.com/infografis/843659/lawan-perundungan [29 September 2019].
  2. Cnnindonesia.com. 11 April 2019. "Mengenal Jenis-jenis Bullying atau Perundungan." Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20190411135109-260-385320/mengenal-jenis-jenis-bullying-atau-perundungan [29 September 2019].
  3. Kemdikbud RI. 2018. "Stop Perundungan." Diunduh dari http://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/wp-content/uploads/2019/06/7.-Stop-Perundungan.pdf [29 September 2019].
  4. KPAI. 2018. "Infodatin: Kekerasan terhadap Anak dan Remaja." Diunduh dari http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/Kekerasan-terhadap-anak.pdf [29 September 2019].
  5. Sindo Weekly. 24 Juli 2017. "Indonesia Tempati Posisi Tertinggi Perundungan di ASEAN." Diakses dari https://nasional.sindonews.com/read/1223442/15/indonesia-tempati-posisi-tertinggi-perundungan-di-asean-1500880739 [29 September 2019].
  6. Voaindonesia.com. 05 Agustus 2019. "Kasus Kekerasan Fisik dan Seksual pada Anak Meningkat di RI." Diakses dari https://www.voaindonesia.com/a/kasus-kekerasan-fisik-dan-seksual-pada-anak-meningkat-di-ri/5029008.html [29 September 2019].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar