Freies Ermessen dan Penerapannya - Asa Digital

Minggu, 03 Desember 2017

Freies Ermessen dan Penerapannya



Freies ermessen berasal dari kata "frei" yang berarti bebas, lepas, tidak terikat dan merdeka, dan "ermessen" berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan. Freise ermessen diartikan sebagai sarana yang memberikan ruang bergerak bagi badan administrasi pemerintahan untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat pada undang-undang. Freise ermessen merupakan suatu alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas legalitas.
Apa itu asas legalitas? Yaitu suatu kondisi di mana tidak ada suatu perbuatan dapat dihukum tanpa adanya peraturan perundang-undangan. Dalam Hukum Administrasi Negara dikenal dengan istilah dat het bestuur aan de wet is onderworpen (bahwa pemerintah tunduk kepada undang- undang).
Lalu mengapa freies ermessen dikatakan untuk mengisi kekurangan asas legalitas? Sebab kita tahu bahwa asas legalitas seperti yang telah dijelaskan di atas berarti peraturan perundang-undangan yanh tertulis, di mana asas legalitas ini memiliki kelemahan seperti yang disampaikan oleh Bagar Manan.
"Asas legalitas atau hukum tertulis memiliki cacat bawaan atau cacat buatan dimana hukum tertulis tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat yang terus berkembang dan terus berkembang."
Sehingga hukum tertulis tidak dapat mencakup segala aspek kehidupan masyarakat yang kompleks dan freies ermessen merupakan salah satu hukum tidak tertulis.


Menurut Sjachran Basah, freies ermessen memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut:
  1. Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik;
  2. Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara; 
  3. Sikap tindak itu di mungkinkan oleh hukum;
  4. Sikap tindak itu di ambil dari inisiatif sendiri; dan
  5. Sikap tindak itu di maksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba.
Di dalam aspek pemerintahan freise ermessen dilakukan oleh administrasi negara dalam hal sebagai berikut:
  1. Belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur terhadap suatu masalah tertentu padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian yang segera;
  2. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya; dan
  3. Adanya delegasi perundang-undangan.
Istilah lain dari freies ermessen adalah diskresi, hal ini sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 9 menyebutkan:
Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam pemyelenggaraan pemerintah dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Lebih lanjut dalam Pasal 22 UU tersebut, pada ayat (1) disebutkan "Diskresi hanya dapat di lakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang". Artinya tidak semua orang atau pejabat dapat menggunakan, hanya untuk pejabat pemerintahan yang memiliki kewenangan akan hal itu. Adapun tujuan dari penggunaan diskresi disebutkan dalam ayat (2) yang menyatakan bahwa "Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk: a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b. mengisi kekosongan hukum; c. memberikan kepastian hukum; dan d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum".
Freies ermessen atau diskresi sendiri telah dikunci atau dibatasi di dalam UU Administrasi Pemerintahan dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan kewenangan atau penyelewengan kewenangan. Dalam suatu tindakan, penggunaan freise ermessen boleh digunakan oleh pejabat pemerintahan atau badan administrasi pemerintahan apabila suatu tindakan yang mau diambil belum diatur di dalam undang-undang, maka berhaklah pejabat pemerintahan menggunakan konsep freise ermessen.
Sebagai contoh penerapannya adalah terhadap kekosongan jabatan wakil gubernur Kepulauan Riau yang terjadi pada periode ini. Di mana gubernur Kepulauan Riau dapat melakukan tindakan di luar yang diatur UU mengenai kekosongan wakilnya. Sebab berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pasal 176 angka(5) menegaskan bahwa:
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan dan pengangkatan calon Wakil Gubernur, calon Wakil Bupati, dan calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Namun hingga kini Peraturan Pemerintah mengenai pemilihan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud ayat di atas belum juga terealisasi. Hal ini menandakan adanya kekosongan hukum akan permasalahan tersebut. Maka konsep freies ermessen hadir sebagai solusi. Terlebih Indonesia menerapkan konsep welfare states (negara kesejahteraan), maka sejalan dengan itu pemerintah berkewajiban melaksanakan kesejahteraan umum. Seperti dikuatkan oleh Ridwan HR, pelayanan masyarakat tidak akan berhenti hanya karena belum ada peraturan perundang-undangan.

Dasar Hukum:
  • Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
  • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

2 komentar: