Efektivitas Pengelolaan Dana Desa di Tengah Berbagai Problematika: Upaya Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat - Asa Digital

Jumat, 09 November 2018

Efektivitas Pengelolaan Dana Desa di Tengah Berbagai Problematika: Upaya Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat


Persoalan kemiskinan menjadi narasi klasik yang hingga kini belum juga teratasi di Indonesia. Rilis terbaru Badan Pusat Statistik pada Bulan Maret 2018 menyatakan bahwa kemiskinan masih dirasakan oleh 25,95 juta jiwa penduduk di belahan Nusantara (BPS, 16 Agustus 2018). 

Meskipun dikatakan sebagai angka terendah dalam historikal pengentasan jumlah masyarakat miskin di Indonesia, tentu belum cukup ketika melihat kembali amanat dari Pembukaan UUD NRI 1945 alenia keempat, yakni tujuan dan cita-cita nasional salah satunya adalah mewujudkan kesejahteraan umum.


Salah satu upaya penanganan terhadap permasalahan ini adalah pembangunan nasional yang berorientasi pada pembangunan desa sebagaimana tertuang dalam Nawacita. Hal ini direalisasikan dengan terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai dasar hukum dilakukannya percepatan dalam mewujudkan desa mandiri. 

Sehingga arah pembangunan dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan masing-masing desa. Kemudian disusul dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa sebagai wujud partisipasi negara dalam pembangunan desa melalui pembiayaan APBN.

Merujuk pada Pasal 19 PP 60/2014 tersebut dinyatakan bahwa:
(1) Dana Desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.(2) Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Berdasarkan pasal ini, dapat diartikan hakikatnya dana desa tidak hanya ditujukan untuk pembangunan dalam arti infrastruktur tetapi juga meliputi aspek sosial-ekonomi masyarakat, yang pada intinya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.


Namun bukan berarti persoalan selesai begitu saja. Dengan adanya alokasi dana APBN untuk desa tentu membuka peluang baru terhadap berbagai permasalahan. Mulai dari keterlibatan seluruh elemen, transparansi penggunaan, ketepatan alokasi, sistem manajemen, hingga pengetahuan aparatur desa terhadap fungsi dana ini merupakan momok bagi pengelolaan dana desa yang efektif dan efisien.

Lemahnya integrasi dalam evaluasi dan pengawasan juga memberi celah. Bukan hal tabu ketika mendengar dana desa menjadi bancakan oknum tertentu. Menurut Kementerian Keuangan hingga akhir 2017 terdapat 200 desa yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK. 

Besarnya dana dan minimnya pengawasan mengakibatkan tikus-tikus berdasi kian beringas. Misalnya saja pada September lalu, Kawardin Purba divonis 4 tahun penjara akibat korupsi dana desa sebesar 203 juta rupiah ketika menjabat sebagai kepala desa Pamatangsinaman (Mei Leandha dalam Kompas.com, 3 September 2018).

Benang Kusut Pengelolaan Dana Desa

Seperti dijelaskan sebelumnya, kehadiran dana desa tidak hanya membawa keuntungan terhadap pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di desa tersebut, tetapi juga membawa permasalahan baru. Kompleksitas persoalan menciptakan benang kusut yang kian sulit untuk diuraikan. Bisa dikatakan bahwa praktik tak se-ideal yang diharapkan. 

Tujuan mulia kehadiran dana desa sering kali dikooptasi elit dan birokrat lokal untuk kepentingan pribadi. Anggaran yang mencapai triliunan rupiah menjadi objek manipulasi dalam konsep partisipasi.

Diungkapkan Jaksa Agung, HM Prasetyo, dalam Rapat Dengar Pendapat antara Komisi III DPR dan Kejaksaan Agung RI, bahwa setidaknya ada 6 masalah dalam pengelolaan dana desa, yaitu (Kontan.co.id, 11 September 2017):
  1. Pemotongan dana. Hal ini bukan fenomena baru dalam proses alokasi anggaran. Sering kita mendengar bahwa besaran anggaran kian ke bawah kian menyusut akibat disunat dengan berbagai alasan biaya operasional dan administrasi.
  2. Proyek fiktif. Persoalan ini sering terjadi sebagai upaya manipulasi dan cara agar dana desa dapat terserap sepenuhnya meskipun tujuannya untuk keuntungan diri, sehingga besaran yang dikeluarkan tidak terkena efisiensi anggaran oleh pusat.
  3. Mark Up. Modus korupsi dana desa memang beragam, salah satunya dengan menggelembungkan pengunaan dana untuk pengadaan barang ataupun jasa.
  4. Kemampuan manajerial aparat desa yang masih rendah.
  5. Penampungan dana melalui rekening pribadi.
  6. Pungutan liar dalam penyaluran dana sebagai pelicin.

Beberapa persoalan di atas belum lah mencakup keseluruhan apabila melihat pada realitas yang terjadi di lapangan. Dengan jumlah mencapai 74.910 desa menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaan dana yang lebih transparan.

Efektivitas Perencanaan Dana Desa dan Keterlibatan Masyarakat

Banyaknya persoalan yang melingkupi bukan berarti tidak dapat terselesaikan. Kemauan bersama dan sinergitas menjadi kunci utama, termasuk pada tahap perencanaan. Dalam mencapai tujuan yang diharapkan tentu perencanaan menjadi bagian yang tidak bisa diabaikan. 

Perencanaan menjadi unsur penting dalam pengelolaan dana desa, sebab sangat menentukan dalam penetapan program yang akan menyerap anggaran tersebut dan tahapan-tahapan yang akan dilakukan.

Penggunaan dana yang bersumber dari APBN/APBD tentunya tidak bisa dilakukan secara serampangan. Musyawarah bersama antara beberapa stakeholder yang ada termasuk unsur masyarakat menjadi proses penting. 

Sayangnya, keterlibatan masyarakat untuk menyusun program dalam Musrenbang sering kali hanya dijadikan formalitas semata. Pada akhirnya penentuan lebih cenderung dilakukan oleh aparat desa, padahal yang lebih memahami akan kebutuhan adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat ditempatkan sebagai peserta pasif yang harus meng-iyakan usul dari perangkat desa.

Hal ini seperti diungkapkan oleh Yamulia Hulu dalam artikelnya Pengelolaan Dana Desa dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa, bahwa dalam proses perencanaan, masyarakat cenderung mendapat determinasi dari perangkat desa, sehingga tampak adanya dominasi. 

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa masyarakat diundang hanya sebagai penonton, sedangkan penentuan program dipegang oleh pihak yang mendominasi tersebut.

Tentu ego sektoral seperti ini harus segera dituntaskan agar dapat meminimalisir penggunaan dana tidak tepat sasaran. Menjadi sebuah kewajiban keberadaan Musrenbang bukan sebagai acara formalitas belaka. 

Setiap unsur baik tokoh adat, agama, dan perwakilan masyarakat lainnya harus dilibatkan secara aktif dalam perumusan, pembahasan, hingga pada penetapan program yang akan dilakukan. Hal ini menjadi penting sebagai alternatif untuk menyelesaikan masalah guna mencapai efektivitas pengelolaan dana.

Ke depan, reformulasi proses penyaluran anggaran dari tahap awal harus dilakukan. Diantaranya dengan mewajibkan tiap-tiap desa untuk mengajukan proposal program dan peruntukan dana agar lebih terarah, transparan, dan manipulasi dapat diminimalisir, serta Musrenbang menjadi titik tolak dan tahapan wajib yang harus dilakukan pada proses ini.


Perketat Pengawasan Melalui Sinergitas antar-Stakeholder

Dalam kajian KPK ada 4 celah utama terkait penggunaan dana desa, salah satunya adalah pengawasan. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus penyelewengan dana yang terungkap. 

Wajar apabila muncul anggapan bahwa semakin jauh range yang diawasi maka akan semakin sulit pengawasan dilakukan. Boleh jadi anggapan ini merupakan suatu kebenaran. Belum lagi jika melihat secara geografis dan alur birokrasi yang begitu panjang.

Untuk itu, penguatan terhadap pengawasan merupakan proses yang memiliki fungsi strategis. Pengawasan ialah proses manajemen yang meliputi pemantauan, penilaian, dan pelaporan rencana atas pencapaian tujuan yang telah ditetapkan untuk tindakan korektif guna penyempurnaan lebih lanjut (Brantas, 2009). 

Pada dasarnya untuk memastikan bahwa setiap tindakan yang dilakukan khususnya dalam penggunaan anggaran dapat dipertanggungjawabkan.

Urgensi pengawasan kian terlihat jika merujuk pada Pasal 6 PP No. 60 Tahun 2014 yang menyebutkan “Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditransfer melalui APBD kabupaten/kota untuk selanjutnya ke APB Desa.” 

Dengan banyaknya proses transfer yang harus dilalui maka pengawasan juga perlu diperketat. Bahkan KPK sendiri mengusulkan sistem pengelolaan dana desa “diganti mesin”. 

Artinya melakukan pembenahan dalam penyaluran dana agar lebih sederhana, tidak terlalu panjang prosesnya, serta tidak tumpang tindih (Maya Saputri dalam Tirto.id, 9 Agustus 2017).

Sebagai upaya efektivitas pengelolaan, pengawasan bukan lagi sekedar kebutuhan tetapi tuntutan sekaligus kewajiban. Pengawasan yang dilakukan harus secara komprehensif sesuai dengan strategi pengawasan yang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014. 

Tujuannya adalah tercapainya pengawasan yang berjenjang sebagai satu kesatuan poros pemerintahan. Untuk mewujudkannya tentu harus melibatkan setiap elemen dari hulu hingga ke hilir, baik penegak hukum, Kementerian Dalam Negeri sebagai pelaksana pembinaan dan pengawasan, BPK sebagai badan auditif, BPD selaku pelaksana pengawasan di tingkat lokal, maupun instansi terkait lainnya termasuk pula masyarakat. 

Keterlibatan masyarakat merupakan bentuk keterbukaan dan akuntabilitas pengelolaan dana melalui evaluasi yang partisipatif.

Selain itu disebutkan pula dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa bahwa pemerintah provinsi beserta pemerintah kabupaten/kota wajib membina dan mengawasi pemberian dan penyaluran dana, alokasi dana, dan pelaksanaan pengelolaan keuangan desa. 

Oleh sebab itu, memperketat dan mempererat kerjasama antarsektor tentu sangat mempengaruhi keberhasilan pengelolaan sesuai peruntukkan.

Pembinaan Terhadap Aparatur Desa

Selain melakukan pengawasan tentu pembinaan terhadap aparatur desa menjadi indikator yang harus dilakukan. Sebab hingga saat ini masih banyak aparatur yang belum memahami mekanisme dan fungsi dana desa. 

Proses pembinaan semakin diperlukan akibat banyaknya laporan pertanggungjawaban penggunaan dana yang mengalami masalah. Pemberitaan mengenai temuan Surat Pertanggungjawaban yang tidak memenuhi syarat formal dan materil merupakan bukti nyata rendahnya kesiapan kepala desa beserta jajarannya.

Dengan pembinaan melalui pelatihan dan bimbingan teknis diharapkan mampu meningkatkan kapasitas dan kualitas SDM. Sehingga kesalahan yang selalu terjadi dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan. 

Terlebih dengan kondisi pendidikan yang bervariasi juga mempengaruhi tingkat pemahaman. Kebutuhan akan pembinaan juga sebagai upaya untuk menyamaratakan pemahaman tersebut.

Pembinaan sebagai kegiatan untuk menyiapkan SDM yang berdaya guna bukan hanya meliputi pemahaman terkait teknis pelaksanaan, tetapi juga pemahaman materi aturan UU No. 6 Tahun 2014 beserta aturan pelaksana yang menyangkut dana desa. 

Dampak dari proses penyiapan aparatur akan turut meningkatkan respon terhadap sistem yang digunakan dan standar yang harus dicapai sebagai ukuran dari keberhasilan.

Sebagai negara bercorak welfare state, sudah semestinya kesejahteraan rakyat diupayakan semaksimal mungkin. Tantangan yang ada haruslah menjadi momentum untuk melakukan evaluasi menyeluruh sebagai bagian dari rekonstruksi pembangunan nasional berbasis kemasyarakatan. 

Tak terkecuali dalam proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat melalui dana desa. Konsolidasi di tingkat desa antara masyarakat, kepala desa dana aparaturnya, serta Badan Permusyawaratan Desa menjadi poin penting tercapainya masyarakat yang berdaya dan sejahtera.


Menutup tulisan ini, ada sebuah adegium menyatakan “salus populy suprema lex” yang berarti kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi dalam sebuah negara. Sudah semestinya negara tampil aktif agar keadilan sosial tak lagi menjadi narasi fiktif.

Referensi:

  1. Brantas. 2009. Dasar-Dasar Manajemen. Bandung: Alfabeta.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa.
  3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
  4. Yumulia Hulu, dkk. Juni 2018. “Pengelolaan Dana Desa dalan Pemberdayaan Masyarakat Desa.” Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial: Volume 10, Nomor 1.
Sumber internet:
  1. https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/07/16/1483/persentase-penduduk-miskin-maret-2018-turun-menjadi-9-82-persen.html.
  2. https://regional.kompas.com/read/2018/09/03/22571311/korupsi-dana-desa-rp-203-juta-kades-di-simalungun-dipenjara-4-tahun.
  3. https://nasional.kontan.co.id/news/kejaksaan-agung-temukan-enam-masalah-dana-desa.
  4. https://tirto.id/kpk-rekomendasikan-pengelolaan-dana-desa-diganti-mesin-cugU.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar