Mengukur Makna Kegentingan yang Memaksa dalam Perpu - Asa Digital

Rabu, 22 November 2017

Mengukur Makna Kegentingan yang Memaksa dalam Perpu

Oleh:
Rilo Pambudi. S
(Ketua Research and Debate Ilmu Hukum, Universitas Maritim Raja Ali Haji)


Gambar 1.1 Mekanisme Perpu
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dikonsepsikan sebagai suatu peraturan yang dari segi isi seharusnya ditetapkan dalam bentuk undang-undang, tetapi karena keadaan kegentingan memaksa ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah (Jimly Ashiddiqie, 2007:3). Perppu itu sendiri sudah dikenal dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) Tahun 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950 dengan penamaaan yang berbeda yaitu menggunakan istilah undang-undang darurat.
Jika merujuk pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal 1 angka 4 disebutkan bahwa:

"Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa."

Konstitusionalitas Perpu juga diatur dalam UUD yakni Pasal 22 ayat (1).

"Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang."

Mengacu pada dua pasal di atas, maka dapat diketahui bahwa alasan membentuk Perpu adalah adanya "hal ihwal kegentingan yang memaksa." Untuk mengukur sejauh mana makna kegentingan yang memaksa maka kita perlu melihat pada pandangan AALF van Dullemen dalam bukunya Staatsnoodrecht en Democratie yang mengatakan ada 4 syarat hukum tata negara darurat, yaitu: Pertama, eksistensi negara tergantung tindakan darurat yang dilakukan; Kedua, tindakan itu diperlukan karena tidak bisa digantikan dengan tindakan lain; Ketiga, tindakan tersebut bersifat sementara; dan Keempat, ketika tindakan diambil, parlemen tidak bisa secara nyata dan sungguh-sungguh. Menurutnya, keempat syarat tersebut harus berlaku secara kumulatif.
Dalam dokumen historis, "hal ihwal kegentingan yang memaksa" disebut Noodverordeningsrecht atau hak presiden untuk mengatur kegentingan memaksa. Oleh karenanya hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD merupakan penilaian subyektif presiden. Sedangkan obyektifitasnya ada pada penilaian DPR pada persidangan berikutnya yang akan menentukan apakah kegentingan itu benar-benar ada sehingga disetujui menjadi UU atau ditolak karena tidak menunjukkan urgensi nyata kegentingan memaksa.
Tersebut di atas sebagaimana terdapat dalam Penjelasan Pasal 22 ayat (1) UUD sebelum amandemen yang berbunyi "Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat."
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa kegentingan memaksa merupakan suatu kondisi sedemikian rupa berkaitan dengan urusan menjamin keselamatan negara sehingga dibentuklah Perpu.
Mahkamah Konstitusi sendiri telah membuat tolak ukur mengenai hal ihwal kegentingan yang memaksa melalui Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, yaitu:
  1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; dan
  3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Namun tidak adanya peraturan yang mengatur secara rinci mengenai batasan makna kegentingan yang memaksa membuat frase ini kerap menimbulkan perbedaan pendapat. Sebagaimana yang diungkapkan Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Konstitusi dan Konstitusionlisme Indonesia bahwa Pasal 22 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu). Hal ini juga diungkapkan oleh Saldi Isra bahwa ketentuan dalam Pasal 22 UUD 1945 disebut sebagai "hak konstitusional subjektif" Presiden.
Sehingga parameter makna "kegentingan yang memaksa" tidak selalu keadaan bahaya sebagaimana dalam Pasal 12 UUD yang lebih jelas objektifitasnya. Pasal 22 hanya menekankan aspek-aspek kegentingan yang memaksa, yaitu unsur reasonable necessity dan limited time dan tidak menekankan sifat bahayanya ancaman (dangerous threat). Oleh karena bersifat penilaian subyektif maka seringkali merujuk pada keyakinan Presiden bahwa terdapat keadaan mendesak atau genting serta dibutuhkan peraturan yang sederajat dengan UU. Subyektifitas ini sendiri dapat terlihat dalam konsideran menimbang dalam setiap Perpu.


Sumber:
  • Asshiddiqie, Jimly. 2007. Hukum Tata Negara Darurat. Jakarta: Rajawali Pers.
  • Assiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.
  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
  • http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5188b1b2dfbd2/syarat-syarat-penetapan-perpu-oleh-presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar