Perlukah Izin Presiden dalam Pemanggilan Anggota DPR Terkait Kasus Korupsi? - Asa Digital

Sabtu, 25 November 2017

Perlukah Izin Presiden dalam Pemanggilan Anggota DPR Terkait Kasus Korupsi?



Sebelum menganalisa permasalahan yang menjadi topik, perlu kiranya memahami maksud dari hak imunitas terlebih dahulu. Sebab, izin yang diberikan presiden terhadap pemanggilan anggota DPR merupakan bagian dari hak imunitas yang dimiliki oleh setiap anggota DPR termasuk pimpinan DPR. Namun apakah mencakup perkara korupsi akan dibahas berikutnya dalam tulisan ini.

Hak Imunitas DPR
Pada dasarnya hak imunitas merupakan kekebalan hukum yang secara konstitusional diatur dalam Pasal 20 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
"Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas."
Sudarsono dalam bukunya Kamus Hukum mengklasifikasikan hak imunitas menjadi dua bentuk:
  1. Hak anggota DPR dan para menteri untuk menyatakan melalui tulisan atau membicarakan segala hal kepada lembaga tersebut tanpa dapat dituntut di muka pengadilan.
  2. Kekebalan hukum bagi Kepala Negara, perwakilan diplomatik dari Hukum Pidana, Hukum Perdata, dan Hukum Tata Usaha Negara yang dilalui atau negara tempat mereka ditempatkan atau bertugas.
Dalam ilmu hukum sendiri dikenal dua macam hak imunitas. Pertama, hak imunitas mutlak yaitu hak imunitas yang tetap berlaku secara mutlak dalam arti tidak dapat dibatalkan oleh siapapun. Kedua, hak imunitas kualifikasi bersifat relatif, dalam arti hak imunitas ini masih dapat dikesampingkan. Manakala penggunaan hak tersebut “dengan sengaja” dilakukan menghina atau menjatuhkan nama baik dan martabat orang lain.
Secara normatif, hak imunitas diatur secara tegas dalam Pasal 224 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang berbunyi:
  1. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR
  2. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.
  3. Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
  4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
  5. Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis mahkamah kehormatan dewan.
  6. Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan putusan atas surat permohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah diterimanya pemanggilan keterangan tersebut.
  7. Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan anggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memiliki kekuatan hukum/batal demi hukum.
Berdasarkan rumusan ayat di atas terdapat tiga hal utama berkaitan dengan hak imunitas yaitu: Pertama, hak setiap anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan terkait pernyataan, pertanyaan dan pendapat yang dikemukakan baik lisan atau tulisan yang terjadi di dalam maupun di luar rapat DPR. Kedua, hak anggota DPR untuk tidak dituntut di hadapan pengadilan atas sikap, tindakan, dan kegiatan terhadap pelaksanaan hak dan kewenangan yang dilakukan di dalam ataupun di luar rapat. Ketiga, hak anggota DPR untuk tidak dapat diganti antar waktu terkait penyataan, pertanyaan, dan pendapat sepanjang melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Meskipun terdapat pengecualian di dalam ayat (4) terhadap perihal yang sifatnya rahasia yang telah disepakati dalam rapat atau terkait rahasia negara terhadap ketentuan ayat (1).

Pengaturan Izin Presiden atas Pemanggilan Anggota DPR
Sebagai lembaga yang diberikan hak imunitas oleh konstitusi, maka dalam kasus tertentu untuk memanggil anggota DPR harus melalui prosedural yang telah dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah adanya izin oleh presiden atau yang disebut persetujuan presiden secara tertulis.
Hal ini disebutkan dalam UU MD3 Pasal 245 ayat (1):
"Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan."
Berdasarkan Putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014, frasa "persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan" dalam Pasal 245 ayat (1) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "persetujuan tertulis dari presiden". Atas putusan itu pula Pasal 245 ayat (1) selengkapnya menjadi:
"Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden."
Dalam ayat (2) pasal tersebut dikatakan bahwa:
"Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan."
Artinya setelah masa tiga puluh hari berakhir sejak permohonan diajukan tetapi belum ada persetujuan, maka pemanggilan dan permintaan keterangan dapat dilakukan tanpa adanya persetujuan yang dimaksudkan.
Namun berdasarkan kedua ayat di atas, dapat dipahami bahwa perlunya persetujuan tertulis atau izin presiden terhadap anggota DPR terjadi ketika hanya untuk dimintai keterangan oleh penyidik atau statusnya sebagai saksi semata. Pada prinsipnya persetujuan dari presiden terhadap status saksi untuk lebih memastikan perlindungan hukum yang memadai sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
Ketentuan Pasal 245 juga mengandung pengeculaian terhadap perlunya persetujuan tertulis oleh presiden. Pada Pasal 245 ayat (3) dikatakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
Pada poin c telah jelas disebutkan bahwa atas dasar persetujuan presiden tidak berlaku jika terkait sangkaan terhadap tindak pidana khusus. Maksud dari tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang berada di luar tindak pidana umum yang dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tetapi diatur melalui undang-undang yang khusus mengatur perihal tersebut. Dalam aturan penutup KUHP yakni Pasal 103 disebutkan "ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh Undang-Undang ditentukan lain".
Sama halnya dalam asas perundang-undangan yaitu asas "lex specialis derogat legi generalis" berarti hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Bagir Manan dalam bukunya Hukum Positif Indonesia mengartikan ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut. Secara normatif juga diatur dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP:
"Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan."
Tindak pidana korupsi merupakan bagian dari tindak pidana khusus sebagaimana dimaksud di atas sebab diatur melalui undang-undang khusus yaitu UU No. 20 Tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maupun peraturan-peraturan lain yang terkait, bukan diatur melalui KUHP yang sifatnya umum.
Hak imunitas perihal izin presiden juga tidak berlaku untuk anggota DPR yang berstatus sebagai tersangka dalam tindak pidana. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 46 (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK):
"Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini."
Penjelasan pasal tersebut menafsirkan yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hak imunitas yang dimiliki setiap anggota DPR termasuk pimpinannya terhadap pemanggilan yang memerlukan persetujuan presiden harus melihat konteks status yang melekat, apakah sebagai saksi atau tersangka. Dan hal ini tidak berlaku pula dalam kasus korupsi. Artinya hak imunitas tidak secara mutlak dimiliki dan diberikan kepada anggota DPR melainkan ada pengeculian dan pembatasan. Meskipun untuk menjamin efektifitas pelaksanaan fungsi, tugas, dan kewenangan namun harus tetap dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tidak terjadi abuse of power terlebih DPR merupakan representatif rakyat yang membawa kepentingan orang banyak bukan kepentingan individual.

Referensi:
  •  Manan, Bagir. 2004. Hukum Positif Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
  • Sudarsono. 1999. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Dasar Hukum:
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
  3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar