Perlukah Kebebasan Berpendapat di Dunia Maya Diawasi Pemerintah? - Asa Digital

Rabu, 22 November 2017

Perlukah Kebebasan Berpendapat di Dunia Maya Diawasi Pemerintah?

 Oleh: 
Rilo Pambudi. S
(Mahasiswa Ilmu Hukum, Universitas Maritim Raja Ali Haji)


Pada abad 21, kebebasan akses dunia maya menggunakan berbagai perangkat tampaknya tidak lagi ada hambatan. Bahkan telah merambah berbagai penjuru negeri. Dunia bagai ruang kecil yang mudah untuk dijelajahi dalam waktu yang relatif singkat. Ini sangat berbeda dengan beberapa dekade lalu, di mana perangkat digital masih sangat sulit untuk dijumpai hingga sangat menyulitkan seseorang untuk bertukar informasi dan melakukan aktivitas lainnya.

Sekian lama dirundung kekangan kebebasan bahkan untuk berpendapat di muka umum, membuat masyarakat memilih bungkam. Sejak digalakkan Reformasi oleh pejuang demokrasi pada interval 1998-1999, kehidupan mulai berubah. Kemudian diperkuat dengan terbitnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan diakomodasinya hak bersuara pada Pasal 28E ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat". Hal ini sudah dapat menjadi landasan yang kuat bagi seseorang untuk menyuarakan pendapatnya di muka umum.

Seiring kemajuan teknologi, berpendapat tidak lagi dilakukan dengan cara konvensional tetapi telah merambah dunia maya dengan perangkat canggihnya. Dalam hitungan detik setiap pendapat kita mampu disaksikan oleh berjuta pasang mata melalui berbagai akun di dunia maya. Sebut saja Facebook, Twitter, Instagram, Line, dan masih banyak lagi. Begitu mudahnya untuk mengutarakan apa yang kita fikirkan kepada khalayak.

Bukan tanpa manfaat, kemudahan dan kebebasan berpendapat di dunia maya contohnya menggunakan sosial media ternyata mampu menjadi fungsi pengawasan. Fungsi ini mampu berperan dalam proses penegakkan hukum di Indonesia. Sosial media menjadi komponen eksternal dalam penegakkan hukum. Melalui media sosial, masyarakat dapat berperan aktif sebagai agen pengontrol proses penegakkan hukum baik dengan pemberitaan suatu peristiwa hukum maupun opini terkait kasus tertentu.

Selain itu, media sosial juga menjadi katalisator atau penggerak penegakkan hukum. Sebagai contoh pada kasus terbaru ini di mana terdapat seorang anggota TNI yang memukul anggota Kepolisian yang sedang bertugas, hal ini dipicu oleh tindakan polisi yang berusaha menjalankan tugasnya untuk menertibkan pengguna lalu lintas dalam hal ini anggota TNI. Pihak TNI segera mengusut kasus ini setelah keluarnya berbagai postingan dan pemberitaan terkait hal tersebut. Sama halnya dengan kasus yang menimpa Eks Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam dugaan penodaan agama. Hal ini karena peran sosial media sebagai katalisator yang mampu mempercepat respon dan pelecut penegak hukum dalam suatu kasus hukum tertentu.

Sosial media juga dapat menjalankan amanat Pancasila dan Konstitusi seperti:

  1. Berperan mencerdaskan masyarakat terhadap hukum dan penegakkannya. 
  2. Sarana berdemokrasi. 
  3. Pemicu dan pengontrol penegak hukum atas perilakunya. 


Dalam teori perumusan kebijakan publik, sosial media juga dapat turut ambil bagian yakni sebagai wadah dalam lingkup Feedback oleh masyarakat. Di mana media sosial menjadi tempat masyarakat melakukan evaluasi terhadap kebijakan apakah setuju atau tidak. Contohnya petisi-petisi yang sering kali viral akhir-akhir ini baik di Twitter ataupun media lainnya.

Namun sayang, kemudahan, manfaat yang begitu besar, dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini seringkali tidak dibarengi dengan moralitas pengguna yang semakin baik. Tidak sedikit pendapat yang memuat konten negatif, celaan, hinaan, cacian, dan unsur menyimpang lainnya. Lihat saja pada pemberitaan beberapa waktu lalu, di mana seorang pengguna sosial media terjerat kasus hukum karena melakukan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo. Ini menandakan bahwa tidak selamanya kebebasan dalam berpendapat termasuk di dunia maya selalu memberi manfaat. Lalu perlukah Pemerintah mengawasi hal ini? Jawabannya adalah perlu. Mengapa? Berikut ini analisanya.

Dalam beberapa kasus pidana berkaitan berpendapat di dunia maya, opini-opini publik yang telah terbentuk dan tergiring oleh pemberitaan pada tahap pra-persidangan seperti penangkapan, penahanan, penetapan status tersangka, penyelidikan, dan penyidikan dapat menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan polisi, jaksa, dan hakim dalam menjalankan tugasnya yang bermuara pada ketidak-adilan yang umumnya dialami oleh tersangka, terdakwa, dan bahkan terpidana. Hal ini juga dipicu maraknya pemberitaan bohong atau hoax.

Survei salah satu lembaga menyatakan bahwa sebanyak 49% pengguna internet adalah kelahiran 1999-2010 atau yang disebut kaum Millenial. Mereka kebanyakan belum memahami etika Pers dan legislasi dalam bersuara di media. Sehingga sering kali pendapatnya mengangkat isu SARA, kebencian, dan kebohongan, yang kemudian di konsumsi oleh masyarakat secara mentah-mentah tanpa adanya proses penelaahan mendalam. Hal ini berdampak pada elektabilitas seseorang, kelompok, instansi, atau lembaga tertentu. Sebut saja kasus terbaru ini yaitu terdapat Santri yang menyuarakan untuk membunuh Menteri.

Terlebih pada level Media Massa baik Online, Televisi, Surat Kabar, dan lainnya. Dari aspek sosial budaya, media adalah institusi sosial yang membentuk definisi dan citra realitas serta dianggap sebagai ekspresi sosial yang berlaku umum. Secara ekonomis, media adalah institusi bisnis yang membantu masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari berbagai usaha yang dilakoni. Sedangkan secara politik, media memberi ruang atau arena pertarungan diskursuf bagi kepentingan kelompok sosial politik yang ada dalam masyarakat demokratis.

Oleh karena begitu vitalnya peran media massa dalam berbagai aspek kehidupan publik, maka memicu banyak pihak dari golongan politik tertentu yang mencoba memanfaatkan media massa sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan secara hegemonik kerap memaksakannya kepada publik. Hal ini sejalan dengan Teori Ekonomi-Politik Media yang dikemukakan oleh Golding dan Murdock dengan memakai pendekatan Strukturasi Giddens, mereka mengatakan bahwa "media massa memang telah menjelma sebagai industri yang menjual produk berupa informasi untuk dikonsumsi masyarakat demi memperoleh profit bagi pemiliknya".

Pola ini dapat mewabah secara global dalam suatu sistem kapitalisme media, di mana media massa berperan penting sebagai agen ideologis yang membentuk pola fikir dan memandu perilaku konsumennya. Namun, pendekatan strukturasi juga mempengaruhi determinasi kapitalisme global, sehingga menjadi satu-satunya penentu nilai-nilai apa yang akan disebar melalui media massa tidaklah patut diterima begitu saja. Sebab dalam rantai strukturasinya terdapat agen-agen lokal yang memiliki peranan aktif dan kreatif dalam proses pengendalian pengaruh media massa terhadap pembentukan opini publik sesuai dengan kepentingan politik yang hendak dicapai golongannya (Sunarto, 2009). Contoh paling nyata adalah dualisme hasil quick count pemilu 2014 silam, di mana terdapat perbedaan hasil survei diantara dua grup pertelevisian swasta yang tersohor di tanah air.

Terdapat pula dua teori komunikasi yang semakin memperkuat perlunya kontrol oleh Pemerintah. Pertama, Teori Agenda Setting (Maxwell dan L. Shaw, 1973) menyatakan "masyarakat cenderung menilai setiap isu yang dianggap media itu penting maka kita juga menganggap penting, begitupun sebaliknya". Dalam teori ini audiens bersifat pasif sedangkan media sangat perkasa dalam mempengaruhi publik. Kedua, Teori Kultivasi (Prof. George Gerbner) mendeskripsikan bahwa media memberikan sebuah dampak, di mana ada sebagian masyarakat yang menganggap dunia nyata berjalan sesuai dengan dunia yang digambarkan oleh media (maya) ataupun sebaliknya dunia dalam media adalah realita.

Pada dasarnya, secara ideal, berpendapat di dunia maya haruslah sesuai dengan azas, prinsip, dan etika yang berlaku secara universal terutama UU 40/1999 tentang Pers, yakni menjunjung tinggi azas objektivitas, akurat, adil, berimbang, dan menegaskan netralitasnya. Selain itu harus sesuai pula dengan asas dan tujuan pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada Pasal 3 dan 4. Berpendapat memang dijamin oleh konstitusi namun harus sesuai pembatasan dalam UU ITE Pasal 27-29 untuk tidak memuat konten pelanggaran kesusilaan, kebencian, pengancaman, pencemaran nama baik, penghinaan, pembohongan, menyesatkan, pemerasan, isu SARA, dan konten negatif lainnya yang dapat merugikan diri, masyarakat, kelompok, ataupun instansi tertentu yang menjerumus pada konflik sosial bahkan tindak pidana seperti diatur dalam Pasal 45 UU ITE.

Bersuara di dunia maya bukanlah masalah, sepanjang opini tersebut tunduk pada pembatasa undang-undang. Sehingga tidak hanya beropini yang menghasilkan profit, ranting, ataupun kepentingan semata. Tetapi riil dan objektif sesuai kebutuhan masyarakat akan informasi dan komunikasi.

Untuk mencapai i'tikad baik tersebut di sinilah perlunya kehadiran Pemerintah sebagai otoritas tertinggi di negara ini untuk menjadi dewan pengawas, agar penggunaan dunia maya untuk berdemokrasi sesuai dengan prinsip-prinsip toleransi, nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, serta etika yang terdapat dalam undang-undang.

Kehadiran pemerintah sebagai pengawas sejatinya merupakan amanat dari Pasal 40 UU 19/2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ayat (2) menyatakan "Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

Pada ayat (2a) dijelaskan bahwa "Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Bahkan ayat (2b) menegaskan "Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumentasi Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum".

Maka sangat ironis bila masyarakat masih menganggap salah kebijaksanaan Pemerintah untuk turut mengawasi berdemokrasi di dunia maya, padahal kita hidup di negara hukum.

References:

  • Handoyo, B. Hestu Cipto. 2015. Hukum Tata Negara Indonesia : Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi (Edisi Revisi). Yogyakarta: Cahya Atma Pustaka.
  • Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 2015. Bahan Tayang Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI. Cetakan XV. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
  • Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
  • Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
  • Republik Indonesia. 2016. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
  • Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan, dan Perempuan. Yogyakarta: Kompas Media Nusantara.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar